Rabu, 08 Oktober 2014

Teori Pemerolehan Bahasa ke Dua



Teori Kompetensi Variabel dan Teori Neuro Fungsional

1.      Teori Kompetensi Variabel
Teori ini melihat bahwa pemerolehan B2 dapat direfleksikan dan bagaimana bahasa itu digunakan. Produk bahasa terdiri atas produk terencana (seperti menirukan cerita atau dialog) dan tidak terencana (seperti percakapan sehari-hari).
Model kompetensi variabel mengemukakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a)      Anak memiliki alat penyimpanan yang berisi bahasantara. Penyimpanan ini akan aktif jika diekploitasi untuk berlatih;
b)      Anak memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa, yang berbentuk proses wacana primer (penyederhanaan semantik: dhahar = makan), wacana sekunder (penyuntingan performansi bahasa), proses kognitif (penyusunan, perbandingan, dan pengurangan unsur);
c)      Tampilan berbahasa anak adalah proses primer dalam perkembangan wacana yang tidak terencana atau proses sekunder dari wacana terencana;
d)     Perkembangan pemerolehan adalah akibat pemerolehan kaidah baru dan pengaktifan kaidah-kaidah itu.

Ellis adalah salah seorang penggagas teori variabel kompetensi (aslinya, Variabel Competensi Model). Model atau teori ini didasarkan pada dua hal (1) proses penggunaan bahasa process), dan (2) produksi bahasa (product). Oleh pencetusnya, teori ini dipandang efektif menjadi kerangka acuan pemerolehan bahasa kedua.
Istilah proses (process) penggunaan bahasa dipahami dalam dua cara, yaitu: (1) pengetahuan linguistik (kaidah bahasa), dan (2) kemampuan menerapkan kaidah itu di dalam penggunaan bahasa (procedures). Widdowson (1984) mengidentifikasi pengetahuan kaidah bahasa sebagai competence dan pengetahuan prosedur sebagai kemampuan menggunakan kaidah bahasa dalam membangun wacana (capacity). Pengetahuan kaidah  bahasa berfungsi mengawasi penggunaan kaidah di dalam wacana (communicative competence), dan capacity adalah kemampuan mengembangkan makna di dalam wacana dengan melacak potensi makna di dalam bahasa melalui komunikasi secara terus-menerus. Produksi wacana melalui proses ini umumnya berwujud: (1) wacana yang direncanakan (planned discourse), dan (2) wacana yang tidak direncanakan (unplanned discourse). Implikasi teori variabel kompetensi dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa kedua adalah penyeimbangan pembelajaran kaidah bahasa dan penerapannya di dalam penggunaan bahasa Dengan topik apa pun, materi pembelajaran harus disajikan dalam wacana, baik wacana yang tidak direncanakan (unplanned discourse) maupun wacana yang direncanakan (planned discourse).
Sebagai kesimpulan teori ini, Ellis merekomendasikan bahwa:
1)      Pengembangan wacana adalah hasil:
a.       Pemerolehan kaidah B2 yang baru melalui partisipasi dalam komunikasi dengan berbagai macam wacana;
b.      Penggiatan kaidah B2 yang sifatnya inisiatif internal (implisit), umumnya menghasilkan wacana yang tidak direncanakan (unplanned discourse).
2)      Proses adalah suatu kapasitas penggunaan bahasa yang menghasilkan wacana;
3)      Performansi B2 adalah hasil dari variabel (1) kaidah B2 yang tidak dapat dianalisis yang mengasilkan wacana yang tidak direncanakan dan (2) kaidah B2 yang dapat dianalisis yang menhasilkan wacana yang direncanakan.
4)      Pengetahuan sederhana merupakan variabel kaidah bahasa antara (interlanguage rules).
Implikasi teori variabel kompetensi dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa kedua adalah penyeimbangan pembelajaran kaidah bahasa dan penerapannya di dalam penggunaan bahasa. Dengan topik apapun, materi pembelajaran harus disajikan dalarn wacana, baik wacana yang tidak direncanakan unplaned disourse) maupun wacana yang direncanakan planed discourse).

2.      Teori Neurofungsional
Pemerolehan bahasa berkaitan erat dengan sistem syaraf, terutama area Broca (area ekspresif verbal) dan Wernicke (area komprehensi). Meskipun demikian, area asosiasi, visualisasi, dan nada tuturan juga berperan. Dengan demikian, pemerolehan bahasa sebenarnya juga melibatkan otak kanak dan kiri.
Teori ini lebih dikenal dengan nama Lamandella’s Neurofuctional Theory. Lamandella (1979) membedakan dua tipe dasar pemerolehan bahasa: (1) primary language acquisition, dan (2) secondary language acquisition. Yang pertama, berlaku pada anak usia 2-5 dalam pemerolehan satu atau lebih bahasa sebagai bahasa pertamanya. Yang kedua, terbagi dua bagian, yaitu: (a) belajar secara formal bahasa asing/bahasa kedua, dan (b) pemerolehan bahasa kedua yang terjadi secara alamiah setelah anak berusia di atas lima tahun. Kedua macam pemerolehan bahasa itu mempunyai sistem neurofungsional yang berbeda, dan masing-masing mempunyai fungsi hirarkis. Lamandella menunjukkan fungsi-fungsi hirarkis itu sebagai berikut.
1)      Hirarkis komunikasi: bertanggung jawab menyimpan bahasa dan simbol-simbol lain melalui komunikasi interpersonal.
2)      Hirarkis kognitif: berfungsi mengontrol penggunaan bahasa dan kegiatan pemrosesan informasi kognitif. Pola latihan-latihan praktis dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa kedua adalah bagian dari hirarki kognitif.
Implikasi fungsi hierarkis komunikasi dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa akan berjalan secara efektif apabila pembelajar memperoleh banyak waktu untuk berinteraksi dengan orang lain lebih baik dengan penutur asli, dengan menggunakan bahasa target. Untuk merealisasikan kesempatan itu, ruang kelas atau tempat belajar dikondisikan sebagai tempat pemerolehan bahasa.
Adapun hierarkis kognitif berkonsekuensi pada pembelajaran kaidah bahasa secara teratur agar dengan kaidah itu pembelajar dapat mengontrol penggunaan bahasa. Dalam hal ini, teori neurofungsional sejalan dengan teori monitor.
a.       Bahasa dan Otak
Bahasa tidak dapat dipisahkan dengan otak, karena di otak terjadi pemrosesan bahasa sehingga dapat diproduksi oleh manusia. Otak merupakan benda putih yang lunak yang terdapat di dalam rongga tengkorak yang menjadi pusat saraf. Otak juga merupakan alat berpikir.
Fritz & Hitzig (1874) membagi otak manusia menjadi dua bagian, yakni hemisper kiri (left hemisphere) dan hemisper kanan (right hemisphere). Kedua sisi otak ini masing-masing memiliki fungsi khusus dan berbeda. Hemisper kanan digunakan sebagai pusat untuk mengawasi kesadaran letak tubuh dan anggota badan lainnya serta tugas-tugas mengenal ruang serta mengontrol anggota gerak sebelah kiri. Selain itu, otak bagian ini juga bertugas mengawasi suara. Sedangkan hemisper kiri digunakan sebagai pusat kemampuan berbicara dan pengontrol anggota gerak sebelah kanan.
Broca dalam Fauziati (1861) menyebutkan bahwa kemampuan berbicara berpusat pada otak sebelah kiri atau hemisper kiri agak ke depan. Bagian ini terkenal dengan sebutan daerah Broca (Broca’s area), yang berfungsi menguasai ujaran. Ada empat faktor dasar ujaran, yakni: sebuah ide, hubungan konvensional antara ide dan kata, cara penggandengan gerak artikulasi dengan kata, dan penggunaan alat-alat artikulasi. Apabila bagian depan (anterior) dari hemisper kiri terluka atau sakit, maka manusia akan mengalami gangguan artikulasi atau pengucapan, misalnya, ucapan kurang jelas, lafal kurang baik, kalimat-kalimat menjadi tak gramatikal, dan berbicara tidak lancar. Meskipun begitu, penderita penyakit ini masih mampu mengungkapkan kalimat-kalimat bermakna sesuai dengan tujuan komunikasinya. Penyakit seperti ini di kalangan neurolog disebut Broca’s aphasia.
Peranan otak dalam pemerolehan bahasa sangatlah penting, hal ini terlihat dari adanya proses Lateralisasi pada otak dimana lateralisasi ini merupakan proses pembedaan fungsi yang terjadi baik di hemisper kiri maupun kanan, dimana salah satu hemisper menjadi lebih dominan atau memiliki spesialisasi pada fungsi masing-masing. Bukti dari adanya lateralisasi pada otak terlihat dari adanya pasien yang menagalami “split brain” yaitu suatu kondisi dimana dua belahan otak berdiri pada fungsinya masing-masing. Selain itu, Steinberg et al. dalam Fauziati (2008) juga berpendapat bahwa kedua belahan otak pamemepunyai struktur dan fungsi khusus dimana beberapa fungsi terjadi di hemisphere kiri dan sisanya berada pada hemisphere kanan. Jadi, pemisahan fungsi inilah yang disebut proses Lateralisasi.
Pada manusia, hubungan proses lateralisasi sangat mempengaruhi kemampuan dalam penggunaan bahasa. Berdasarkan penemuan dalam penelitian Brain Lateralization, ditemukan bahwa bagian otak yang paling dominan dalam produksi bahasa yakni hemisper kiri. Nickerson dalam Garman (1990) menegemukakan bahwa otak mengendalikan setiap gerak, aktivitas, atau kegiatan manusia. Kegiatan menulis dan berpikir lebih banyak dikendalikan oleh belahan otak kiri. Hal ini dapat dilihat dalam skema daerah dominasi otak kiri dan otak kanan berikut ini.
DAERAH DOMINASI
NO.
OTAK KIRI
OTAK KANAN
1.
Intelektual
Intuitif
2.
Mengingat nama
Mengingat wajah
3.
Tanggap terhadap penje-lasan dan instruksi verbal.
Tanggap terhadap demonstrasi, ilustrasi, atau instruksi simbolik.
4.
Percobaan sistematis dan dengan pengendalian.
Percobaan acak dan dengan sedikit pengendalian.
5.
Membuat pertimbanganObjektif
Membuat pertimbangansubjektif
6.
Terencana dan tersusun
Berubah-ubah dan spontan
7.
Lebih suka kenyataan, informasi yan dipahami.
Lebih suka hal yang sukar dipahami.
8.
Pembaca analisis
Pembaca sistematis
9.
Bergantung pada bahasa dalam
Bergantung pada kesan
10.
Lebih suka berbicara dan menulis
Lebih suka menggambar dan memanipulasi objek.
11.
Lebih suka tes pilihan ganda
Lebih suka pertanyaan terbuka
12.
Kurang baik menginter-pretasi bahasa tubuh.
Baik menginterpretasi bahasa tubuh.
13.
Mengendalikan perasaan
Lebih bebas dengan perasaan
14.
Jarang menggunakanMetafora
Sering menggunakanmetafora
15.
Menyenangi pemecahan masalah secara logis.
Menyenangi pemecahan masa-lah secara intuitif.
Proses lateralisasi terjadi semenjak anak baru lahir sampai berusia lima tahun (Krashen dalam Fauziati, 2008). Ketika proses lateralisasi selesai, maka seseorang dikatakan telah memasuki fase dimana otot-otot dan sel-sel otaknya tidak lagi lentur dan fleksibel untuk memproduksi suatu bahasa sebaik penutur aslinya (Lenneberg dalam Fauziati, 2008). Jika seorang anak mendapatkan input yang bagus (berada di lingkungan yang mendukung suatu bahasa, misalnya bahasa inggris) dimana proses lateralisasi masih berjalan, maka anak tersebut memiliki kesempatan untuk dapat memproduksi bahasa sebaik penutur asli bahasa Inggris.
Seseorang yang mengalami gangguan berbicara seperti gagap dapat diindikasikan mengalami gangguan atau kelainan pada salah satu bagian otaknya. Untuk mampu berbahasa diperlukan kemampuan pemahaman (resepsi) dan kemampuan produksi (ekspresi). Implikasinya ialah daerah Broca dan Wernicke harus berfungsi secara penuh. Kerusakan pada salah satu atau kedua daerah tersebut akan mengakibatkan gangguan berbahasa yang disebut aphasia.
Kerusakan otak yang dominan dapat mengakibatkan aphasia motorik, kerusakan dapat terletak pada lapisan permnukaan (lesi kortikal) daerah Broca, di lapisan di bawah permukaan (lesi subkortikal) daerah Broca, atau antara daerah Broca dan daerah Wernicke (lesi transkortikal). Aphasia motorik kortikal ialah hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Ia mengerti bahasa lisan dan tulis, tetapi tidak mampu berekspresi secara verbal, meskipun masih mampu dengan menggunakan isyarat. Kemudian, Aphasia motorik subkortikal ialah penderita tidak mampu mengutarakan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, namun masih bisa dengan cara membeo. Pemaknaan ekspresi verbal dan visual tidak terganggu, bahkan 80% ekspresi visualnya normal. Sedangkan Aphasia motorik transkortial (aphasia nominatif) ialah aphasia yang masih dapat mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan yang singkat dan tepat, namun masih mungkin menggunakan perkataan penggantinya. Misalnya, tidak mampu menyebut nama barang yang dipegangnya, tetapi tahu kegunaannya.
b.      Bahasa dan Pikiran
Pikiran (mind) merupakan hasil berpikir atau memikirkan; akal budi atau ingatan; akal atau daya upaya; angan-angan atau gagasan; dan niat atau maksud. Sedangkan kegiatan menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan merumuskan sesuatu, menimbang-nimbang dalam ingatan, disebut berpikir. Lalu, apa hubungan antara bahasa dan pikiran? Sudut pandang Chomsky (2006) tentang keterkaitan akan bahasa dan pikiran lebih merujuk pada bagaimana kompetensi dan performansi masing-masing orang dalam menggunakan bahasa.
Salah satu materi yang memiliki hubungan dengan bahasa dan pikiran ini yaitu mental lexicon. Mental lexicon diibaratkan seperti kamus yang ada dalam otak manusia. Secara umum, mental leksikon (Crystal dalam Syamsuar, 2010) menyatakan bahwa mental leksikon adalah istilah yang mengacu kepada representasi yang tersimpan di dalam otak mengenai apa yang seseorang ketahui tentang butir leksikal dalam bahasanya. Kemudian Richards et al. dalam Syamsuar (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa sebenarnya leksikon adalah rangkaian kata atau idiom dalam sebuah bahasa. Lebih jauh lagi ia menjelaskan bahwa leksikon bahwa leksikon merupakan sebuah sistem mental yang mengandung semua informasi yang diketahui seseorang tentang kata. Ia juga mengatakan bahwa menurut para ahli psikolinguistik bahwa pengetahuan tentang kata mencakup tiga (3) hal yakni: pengetahuan tentang bagaimana sebuah kata diucapkan; pola-pola gramatikal yang bersama pola-pola itu dan bagaimana sebuah kata digunakan; dan makna atau beberapa makna dari sebuah kata. Dengan kata lain, jumlah kata yang diketahui oleh seorang pengguna bahasa membentuk mental leksikonnya.
Ketika seseorang menginternalisasikan pengetahuannya, maka dia akan menggunakan mental leksikonnya dimana ia mengandalkan properti dari kata-kata itu: bunyi (bagaimana melafalkan kata); sintaksis (bagaimana menggunakan sekumpulan kata); semantik (bagaimana mengidentifikasi makna); dan pragmatik (bagaimana menggunakan kata-kata sesuai dengan konteksnya).
Salah satu bahasan lain yang tidak kalah pentinnya berkaitan dengan mental leksikon yakni Memori. Kebanyakan dari kita percaya bahwa memori adalah rekaman permanen tentang pengalaman kita. Dalam hal ini, kita menyakini bahwa tidak ada hal yang hilang sedikit pun. Setiap hal yang pernah kita alami tersimpan di dalam otak kita, dalam hal ini memori.
Memori memiliki peranan yang sangat penting di dalam penggunaan bahasa. Ini merupakan tempat dimana suara dan kata (makna kata) tersimpan, dan disini juga adalah tempat dimana ide (konsep) serta gagasan dibentuk. Berdasarkan lokasinya, memori dibagi kedalam tiga bagian: sensory register, short term memory (ingatan jangka pendek), dan long term memory (ingatan jangka panjang) (Taylor dalam Fauziati, 2008).
Ketika seseorang telah melewati fase pemerolehan bahasa dimana mental leksikon dan memori sudah mendukung, maka dengan sendirinya orang tersebut dikatakan mampu memproduksi bahasa. Maka orang yang bersangkutan akan mengetahui hubungan atau keterkaitan antara suara dan makna dalm bahasa tanpa menyadari atau berpikir secara sengaja tentang kaidah grammar, hal ini disebut dengan kompetensi. Chomsky (1965) mengemukakan bahwa kompetensi mengacu pada pengetahuan dasar tentang suatu sistem, peristiwa atau kenyataan. Kompetensi ini bersifat abstrak, tidak dapat diamati, karena kompetensi terdapat dalam alam pikiran manusia. Yang dapat diamati adalah gejala-gejala kompetensi yang tampak dari perilaku (kebahasaan) manusia seperti berbicara, berjalan, menyanyi, menari dan sebagainya. Sedangkan performansi merefleksikan proses yang sebenarnya dalam memproduksi dan memahami bahasa. Dalam kenyataan yang aktual, performansi itu tidak sepenuhnya mencerminkan kompetensi kebahasaan. Chomsky (1965) mengemukakan bahwa dalam pemakaian bahasa secara konkret banyak ditemukan penyimpangan kaidah, kekeliruan, namun semua itu masih dapat dipahami oleh pembicara-pendengar karena mereka mempunyai kompetensi kebahasaan.
Seorang penutur bisa saja mengalami kesalahan atau kekeliruan dalam memproduksi kata atau suara, bagian kata, kata, maupun bagian kalimat (speech errors). Ada beberapa jenis speech error (Fauziati, 2008), yakni : Semantic error dimana kesalahan terjadi karena kemiripan makna atau arti. Semantic error seringkali terjadi pada pemilihan kata dimana kata yang dimaksudkan memiliki makna diisi oleh kata yang salah (dari kelas kata yang sama), dimana kata-kata ini secara semantik berkaitan (misalnya antonim, hiponim, dsb). Clark and Clark dalam Fauziati (2008) mengemukakan bahwa error terjadi karena terdapat kata yang mengganggu keberadaan kata yang telah ada di leksikon sebelumnya karena adanya keterkaitan secara semantik. Kedua, yakni Malaporism dimana seseorang mengalami gangguan dalam pemilihan kata dikarenakan kata-kata yang bersangkutan memiliki kesamaan bunyi. Misalnya derangement untuk arrangement, alligator untuk allegory, dan tambourines untuk trampolines. Dalam hal ini, kata yang mengganggu dan menyebabkan error secara fonetis berkaitan atau memilik kesamaan dengan kata target (Taylor dalam Fauziati, 2008). Jenis error yang terakhir yaitu Blends dimana hal ini terjadi ketika dua kata bergabung untuk membentuk sebuah kata baru. Error jenis ini jarang terjadi dan hanya terjadi pada sebagian orang saja. Ketika sebuah konsep ingin diekspresikan oleh seorang penutur dengan menggunakan dua kata yang memiliki kemiripan, maka dia bisa menjadi ragu akan kata mana yang bisa merepresentasikan idenya, kemudian dia mungkin memilih dua kata kemudian menggabungkannya menjadi satu kata (Taylor in Fauziati, 200\8) (misalnya please exland that, instead of explain and expand) (Atchinson in Fauziati, 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar