Teori Kompetensi Variabel dan Teori Neuro Fungsional
1. Teori
Kompetensi Variabel
Teori ini melihat bahwa pemerolehan B2 dapat
direfleksikan dan bagaimana bahasa itu digunakan. Produk bahasa terdiri
atas produk terencana (seperti menirukan cerita atau dialog) dan tidak terencana
(seperti percakapan sehari-hari).
Model kompetensi variabel mengemukakan
prinsip-prinsip sebagai berikut.
a)
Anak memiliki alat penyimpanan yang
berisi bahasantara. Penyimpanan ini akan aktif jika diekploitasi untuk
berlatih;
b)
Anak memiliki kemampuan untuk
menggunakan bahasa, yang berbentuk proses wacana primer (penyederhanaan
semantik: dhahar = makan), wacana sekunder (penyuntingan performansi bahasa),
proses kognitif (penyusunan, perbandingan, dan pengurangan unsur);
c)
Tampilan berbahasa anak adalah proses
primer dalam perkembangan wacana yang tidak terencana atau proses sekunder dari
wacana terencana;
d)
Perkembangan pemerolehan adalah akibat
pemerolehan kaidah baru dan pengaktifan kaidah-kaidah itu.
Ellis
adalah salah seorang penggagas teori variabel kompetensi (aslinya, Variabel Competensi Model). Model
atau teori ini didasarkan pada dua hal (1) proses penggunaan bahasa process), dan
(2) produksi bahasa (product). Oleh pencetusnya, teori ini dipandang
efektif menjadi kerangka acuan pemerolehan bahasa kedua.
Istilah
proses (process) penggunaan bahasa dipahami dalam dua cara, yaitu: (1)
pengetahuan linguistik (kaidah bahasa), dan (2) kemampuan menerapkan kaidah itu
di dalam penggunaan bahasa (procedures). Widdowson (1984) mengidentifikasi
pengetahuan kaidah bahasa sebagai competence dan pengetahuan prosedur sebagai
kemampuan menggunakan kaidah bahasa dalam membangun wacana (capacity).
Pengetahuan kaidah bahasa berfungsi mengawasi penggunaan kaidah di dalam
wacana (communicative competence), dan capacity adalah kemampuan mengembangkan
makna di dalam wacana dengan melacak potensi makna di dalam bahasa melalui
komunikasi secara terus-menerus. Produksi wacana melalui proses ini umumnya
berwujud: (1) wacana yang direncanakan (planned discourse), dan (2) wacana yang
tidak direncanakan (unplanned discourse). Implikasi teori variabel kompetensi
dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa kedua adalah penyeimbangan pembelajaran
kaidah bahasa dan penerapannya di dalam penggunaan bahasa Dengan topik apa pun,
materi pembelajaran harus disajikan dalam wacana, baik wacana yang tidak
direncanakan (unplanned discourse) maupun wacana yang direncanakan (planned
discourse).
Sebagai
kesimpulan teori ini, Ellis merekomendasikan bahwa:
1)
Pengembangan
wacana adalah hasil:
a.
Pemerolehan
kaidah B2 yang baru melalui partisipasi dalam komunikasi dengan berbagai macam
wacana;
b.
Penggiatan
kaidah B2 yang sifatnya inisiatif internal (implisit), umumnya menghasilkan
wacana yang tidak direncanakan (unplanned discourse).
2)
Proses
adalah suatu kapasitas penggunaan bahasa yang menghasilkan wacana;
3)
Performansi
B2 adalah hasil dari variabel (1) kaidah B2 yang tidak dapat dianalisis yang
mengasilkan wacana yang tidak direncanakan dan (2) kaidah B2 yang dapat
dianalisis yang menhasilkan wacana yang direncanakan.
4)
Pengetahuan
sederhana merupakan variabel kaidah bahasa antara (interlanguage rules).
Implikasi teori variabel kompetensi dalam
pembelajaran bahasa asing/bahasa kedua adalah penyeimbangan pembelajaran kaidah
bahasa dan penerapannya di dalam penggunaan bahasa. Dengan topik apapun, materi
pembelajaran harus disajikan dalarn wacana, baik wacana yang tidak direncanakan
unplaned disourse) maupun wacana yang direncanakan planed discourse).
2. Teori
Neurofungsional
Pemerolehan bahasa berkaitan erat dengan sistem
syaraf, terutama area Broca (area ekspresif verbal) dan Wernicke (area
komprehensi). Meskipun demikian, area asosiasi, visualisasi, dan nada tuturan
juga berperan. Dengan demikian, pemerolehan bahasa sebenarnya juga melibatkan
otak kanak dan kiri.
Teori ini
lebih dikenal dengan nama Lamandella’s Neurofuctional Theory. Lamandella (1979)
membedakan dua tipe dasar pemerolehan bahasa: (1) primary language acquisition,
dan (2) secondary language acquisition. Yang pertama, berlaku pada anak usia
2-5 dalam pemerolehan satu atau lebih bahasa sebagai bahasa pertamanya. Yang
kedua, terbagi dua bagian, yaitu: (a) belajar secara formal bahasa asing/bahasa
kedua, dan (b) pemerolehan bahasa kedua yang terjadi secara alamiah setelah
anak berusia di atas lima tahun. Kedua macam pemerolehan bahasa itu mempunyai
sistem neurofungsional yang berbeda, dan masing-masing mempunyai fungsi hirarkis.
Lamandella menunjukkan fungsi-fungsi hirarkis itu sebagai berikut.
1) Hirarkis komunikasi: bertanggung
jawab menyimpan bahasa dan simbol-simbol lain melalui komunikasi interpersonal.
2) Hirarkis kognitif: berfungsi
mengontrol penggunaan bahasa dan kegiatan pemrosesan informasi kognitif. Pola
latihan-latihan praktis dalam pembelajaran bahasa asing/bahasa kedua adalah
bagian dari hirarki kognitif.
Implikasi fungsi hierarkis komunikasi dalam pembelajaran bahasa
asing/bahasa akan berjalan secara efektif apabila pembelajar memperoleh banyak
waktu untuk berinteraksi dengan orang lain lebih baik dengan penutur asli,
dengan menggunakan bahasa target. Untuk merealisasikan kesempatan itu, ruang
kelas atau tempat belajar dikondisikan sebagai tempat pemerolehan bahasa.
Adapun hierarkis kognitif berkonsekuensi pada pembelajaran kaidah
bahasa secara teratur agar dengan kaidah itu pembelajar dapat mengontrol
penggunaan bahasa. Dalam hal ini, teori neurofungsional sejalan dengan teori
monitor.
a. Bahasa dan Otak
Bahasa tidak dapat dipisahkan dengan otak, karena di otak
terjadi pemrosesan bahasa sehingga dapat diproduksi oleh manusia. Otak
merupakan benda putih yang lunak yang terdapat di dalam rongga tengkorak yang
menjadi pusat saraf. Otak juga merupakan alat berpikir.
Fritz & Hitzig (1874) membagi otak manusia menjadi dua
bagian, yakni hemisper kiri (left
hemisphere) dan hemisper kanan (right
hemisphere). Kedua sisi otak ini masing-masing memiliki fungsi khusus
dan berbeda. Hemisper kanan digunakan sebagai pusat untuk mengawasi kesadaran
letak tubuh dan anggota badan lainnya serta tugas-tugas mengenal ruang serta
mengontrol anggota gerak sebelah kiri. Selain itu, otak bagian ini juga
bertugas mengawasi suara. Sedangkan hemisper kiri digunakan sebagai pusat
kemampuan berbicara dan pengontrol anggota gerak sebelah kanan.
Broca dalam Fauziati (1861) menyebutkan bahwa kemampuan
berbicara berpusat pada otak sebelah kiri atau hemisper kiri agak ke depan.
Bagian ini terkenal dengan sebutan daerah
Broca (Broca’s area), yang berfungsi menguasai ujaran. Ada empat faktor
dasar ujaran, yakni: sebuah ide, hubungan konvensional antara ide dan kata,
cara penggandengan gerak artikulasi dengan kata, dan penggunaan alat-alat
artikulasi. Apabila bagian depan (anterior) dari hemisper kiri terluka atau sakit,
maka manusia akan mengalami gangguan artikulasi atau pengucapan, misalnya,
ucapan kurang jelas, lafal kurang baik, kalimat-kalimat menjadi tak gramatikal,
dan berbicara tidak lancar. Meskipun begitu, penderita penyakit ini masih mampu
mengungkapkan kalimat-kalimat bermakna sesuai dengan tujuan komunikasinya.
Penyakit seperti ini di kalangan neurolog disebut Broca’s aphasia.
Peranan otak dalam pemerolehan bahasa sangatlah penting, hal
ini terlihat dari adanya proses Lateralisasi pada otak dimana lateralisasi ini
merupakan proses pembedaan fungsi yang terjadi baik di hemisper kiri maupun
kanan, dimana salah satu hemisper menjadi lebih dominan atau memiliki
spesialisasi pada fungsi masing-masing. Bukti dari adanya lateralisasi pada
otak terlihat dari adanya pasien yang menagalami “split brain” yaitu suatu
kondisi dimana dua belahan otak berdiri pada fungsinya masing-masing. Selain
itu, Steinberg et al. dalam Fauziati (2008) juga berpendapat bahwa kedua
belahan otak pamemepunyai struktur dan fungsi khusus dimana beberapa fungsi
terjadi di hemisphere kiri dan sisanya berada pada hemisphere kanan. Jadi,
pemisahan fungsi inilah yang disebut proses Lateralisasi.
Pada manusia, hubungan proses lateralisasi sangat
mempengaruhi kemampuan dalam penggunaan bahasa. Berdasarkan penemuan dalam
penelitian Brain Lateralization, ditemukan bahwa bagian otak yang paling
dominan dalam produksi bahasa yakni hemisper kiri. Nickerson dalam Garman
(1990) menegemukakan bahwa otak mengendalikan setiap gerak, aktivitas, atau
kegiatan manusia. Kegiatan menulis dan berpikir lebih banyak dikendalikan oleh
belahan otak kiri. Hal ini dapat dilihat dalam skema daerah dominasi otak kiri
dan otak kanan berikut ini.
DAERAH DOMINASI
|
||
NO.
|
OTAK KIRI
|
OTAK KANAN
|
1.
|
Intelektual
|
Intuitif
|
2.
|
Mengingat nama
|
Mengingat wajah
|
3.
|
Tanggap terhadap penje-lasan dan
instruksi verbal.
|
Tanggap terhadap demonstrasi,
ilustrasi, atau instruksi simbolik.
|
4.
|
Percobaan sistematis dan dengan
pengendalian.
|
Percobaan acak dan dengan sedikit
pengendalian.
|
5.
|
Membuat pertimbanganObjektif
|
Membuat pertimbangansubjektif
|
6.
|
Terencana dan tersusun
|
Berubah-ubah dan spontan
|
7.
|
Lebih suka kenyataan, informasi
yan dipahami.
|
Lebih suka hal yang sukar
dipahami.
|
8.
|
Pembaca analisis
|
Pembaca sistematis
|
9.
|
Bergantung pada bahasa dalam
|
Bergantung pada kesan
|
10.
|
Lebih suka berbicara dan menulis
|
Lebih suka menggambar dan
memanipulasi objek.
|
11.
|
Lebih suka tes pilihan ganda
|
Lebih suka pertanyaan terbuka
|
12.
|
Kurang baik menginter-pretasi
bahasa tubuh.
|
Baik menginterpretasi bahasa
tubuh.
|
13.
|
Mengendalikan perasaan
|
Lebih bebas dengan perasaan
|
14.
|
Jarang menggunakanMetafora
|
Sering menggunakanmetafora
|
15.
|
Menyenangi pemecahan masalah
secara logis.
|
Menyenangi pemecahan masa-lah
secara intuitif.
|
Proses lateralisasi terjadi semenjak
anak baru lahir sampai berusia lima tahun (Krashen dalam Fauziati, 2008).
Ketika proses lateralisasi selesai, maka seseorang dikatakan telah memasuki
fase dimana otot-otot dan sel-sel otaknya tidak lagi lentur dan fleksibel untuk
memproduksi suatu bahasa sebaik penutur aslinya (Lenneberg dalam Fauziati,
2008). Jika seorang anak mendapatkan input yang bagus (berada di lingkungan
yang mendukung suatu bahasa, misalnya bahasa inggris) dimana proses
lateralisasi masih berjalan, maka anak tersebut memiliki kesempatan untuk dapat
memproduksi bahasa sebaik penutur asli bahasa Inggris.
Seseorang yang mengalami gangguan berbicara seperti gagap
dapat diindikasikan mengalami gangguan atau kelainan pada salah satu bagian
otaknya. Untuk mampu berbahasa diperlukan kemampuan pemahaman (resepsi) dan
kemampuan produksi (ekspresi). Implikasinya ialah daerah Broca dan Wernicke
harus berfungsi secara penuh. Kerusakan pada salah satu atau kedua daerah
tersebut akan mengakibatkan gangguan berbahasa yang disebut aphasia.
Kerusakan otak yang dominan dapat mengakibatkan aphasia
motorik, kerusakan dapat terletak pada lapisan permnukaan (lesi kortikal) daerah Broca, di
lapisan di bawah permukaan (lesi
subkortikal) daerah Broca, atau antara daerah Broca dan daerah Wernicke
(lesi transkortikal). Aphasia
motorik kortikal ialah hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran
dengan menggunakan perkataan. Ia mengerti bahasa lisan dan tulis, tetapi tidak
mampu berekspresi secara verbal, meskipun masih mampu dengan menggunakan
isyarat. Kemudian, Aphasia motorik subkortikal ialah penderita tidak mampu
mengutarakan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, namun masih bisa
dengan cara membeo. Pemaknaan ekspresi verbal dan visual tidak terganggu,
bahkan 80% ekspresi visualnya normal. Sedangkan Aphasia motorik transkortial
(aphasia nominatif) ialah aphasia yang masih dapat mengutarakan isi pikiran
dengan menggunakan perkataan yang singkat dan tepat, namun masih mungkin
menggunakan perkataan penggantinya. Misalnya, tidak mampu menyebut nama barang
yang dipegangnya, tetapi tahu kegunaannya.
b. Bahasa dan Pikiran
Pikiran (mind)
merupakan hasil berpikir atau memikirkan; akal budi atau ingatan; akal atau
daya upaya; angan-angan atau gagasan; dan niat atau maksud. Sedangkan kegiatan
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan merumuskan sesuatu,
menimbang-nimbang dalam ingatan, disebut berpikir. Lalu, apa hubungan antara
bahasa dan pikiran? Sudut pandang Chomsky (2006) tentang keterkaitan akan
bahasa dan pikiran lebih merujuk pada bagaimana kompetensi dan performansi
masing-masing orang dalam menggunakan bahasa.
Salah satu materi yang memiliki hubungan dengan bahasa dan
pikiran ini yaitu mental lexicon.
Mental lexicon diibaratkan
seperti kamus yang ada dalam otak manusia. Secara umum, mental leksikon
(Crystal dalam Syamsuar, 2010) menyatakan bahwa mental leksikon adalah istilah
yang mengacu kepada representasi yang tersimpan di dalam otak mengenai apa yang
seseorang ketahui tentang butir leksikal dalam bahasanya. Kemudian Richards et
al. dalam Syamsuar (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa sebenarnya leksikon
adalah rangkaian kata atau idiom dalam sebuah bahasa. Lebih jauh lagi ia
menjelaskan bahwa leksikon bahwa leksikon merupakan sebuah sistem mental yang
mengandung semua informasi yang diketahui seseorang tentang kata. Ia juga
mengatakan bahwa menurut para ahli psikolinguistik bahwa pengetahuan tentang
kata mencakup tiga (3) hal yakni: pengetahuan tentang bagaimana sebuah kata
diucapkan; pola-pola gramatikal yang bersama pola-pola itu dan bagaimana sebuah
kata digunakan; dan makna atau beberapa makna dari sebuah kata. Dengan kata
lain, jumlah kata yang diketahui oleh seorang pengguna bahasa membentuk mental
leksikonnya.
Ketika seseorang menginternalisasikan pengetahuannya, maka
dia akan menggunakan mental leksikonnya dimana ia mengandalkan properti dari
kata-kata itu: bunyi (bagaimana melafalkan kata); sintaksis (bagaimana
menggunakan sekumpulan kata); semantik (bagaimana mengidentifikasi makna); dan
pragmatik (bagaimana menggunakan kata-kata sesuai dengan konteksnya).
Salah satu bahasan lain yang tidak kalah pentinnya berkaitan
dengan mental leksikon yakni Memori. Kebanyakan dari kita percaya bahwa memori
adalah rekaman permanen tentang pengalaman kita. Dalam hal ini, kita menyakini
bahwa tidak ada hal yang hilang sedikit pun. Setiap hal yang pernah kita alami
tersimpan di dalam otak kita, dalam hal ini memori.
Memori memiliki peranan yang sangat penting di dalam
penggunaan bahasa. Ini merupakan tempat dimana suara dan kata (makna kata)
tersimpan, dan disini juga adalah tempat dimana ide (konsep) serta gagasan
dibentuk. Berdasarkan lokasinya, memori dibagi kedalam tiga bagian: sensory
register, short term memory (ingatan jangka pendek), dan long term memory (ingatan
jangka panjang) (Taylor dalam Fauziati, 2008).
Ketika seseorang telah melewati fase pemerolehan bahasa
dimana mental leksikon dan memori sudah mendukung, maka dengan sendirinya orang
tersebut dikatakan mampu memproduksi bahasa. Maka orang yang bersangkutan akan
mengetahui hubungan atau keterkaitan antara suara dan makna dalm bahasa tanpa
menyadari atau berpikir secara sengaja tentang kaidah grammar, hal ini disebut
dengan kompetensi. Chomsky (1965) mengemukakan bahwa kompetensi mengacu pada
pengetahuan dasar tentang suatu sistem, peristiwa atau kenyataan. Kompetensi
ini bersifat abstrak, tidak dapat diamati, karena kompetensi terdapat dalam
alam pikiran manusia. Yang dapat diamati adalah gejala-gejala kompetensi yang
tampak dari perilaku (kebahasaan) manusia seperti berbicara, berjalan,
menyanyi, menari dan sebagainya. Sedangkan performansi merefleksikan proses
yang sebenarnya dalam memproduksi dan memahami bahasa. Dalam kenyataan yang
aktual, performansi itu tidak sepenuhnya mencerminkan kompetensi kebahasaan.
Chomsky (1965) mengemukakan bahwa dalam pemakaian bahasa secara konkret banyak
ditemukan penyimpangan kaidah, kekeliruan, namun semua itu masih dapat dipahami
oleh pembicara-pendengar karena mereka mempunyai kompetensi kebahasaan.
Seorang penutur bisa saja mengalami kesalahan atau
kekeliruan dalam memproduksi kata atau suara, bagian kata, kata, maupun bagian
kalimat (speech errors). Ada beberapa jenis speech error (Fauziati, 2008),
yakni : Semantic error dimana kesalahan terjadi karena kemiripan makna atau
arti. Semantic error seringkali terjadi pada pemilihan kata dimana kata yang
dimaksudkan memiliki makna diisi oleh kata yang salah (dari kelas kata yang
sama), dimana kata-kata ini secara semantik berkaitan (misalnya antonim,
hiponim, dsb). Clark and Clark dalam Fauziati (2008) mengemukakan bahwa error
terjadi karena terdapat kata yang mengganggu keberadaan kata yang telah ada di
leksikon sebelumnya karena adanya keterkaitan secara semantik. Kedua, yakni
Malaporism dimana seseorang mengalami gangguan dalam pemilihan kata dikarenakan
kata-kata yang bersangkutan memiliki kesamaan bunyi. Misalnya derangement untuk
arrangement, alligator untuk allegory, dan tambourines untuk trampolines. Dalam
hal ini, kata yang mengganggu dan menyebabkan error secara fonetis berkaitan
atau memilik kesamaan dengan kata target (Taylor dalam Fauziati, 2008). Jenis
error yang terakhir yaitu Blends dimana hal ini terjadi ketika dua kata
bergabung untuk membentuk sebuah kata baru. Error jenis ini jarang terjadi dan
hanya terjadi pada sebagian orang saja. Ketika sebuah konsep ingin
diekspresikan oleh seorang penutur dengan menggunakan dua kata yang memiliki
kemiripan, maka dia bisa menjadi ragu akan kata mana yang bisa
merepresentasikan idenya, kemudian dia mungkin memilih dua kata kemudian
menggabungkannya menjadi satu kata (Taylor in Fauziati, 200\8) (misalnya please
exland that, instead of explain and expand) (Atchinson in Fauziati, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar