1. Landasan Sosiologis Pendidikan
Kegiatan pendidikan
merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi muda
memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga
sekolah yang dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologi pada
kegiatan pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatkan perhatian sosiologi
pada kegiatan pendidikan tersebut, maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan. Untuk
terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun dan damai, terciptalah
nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang
mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota
masyarakat.
Dalam kehidupan
bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya:
1)
Paham individualisme,
2)
Paham kolektivisme,
3)
Paham integralistik.
Paham individualisme dilandasi teori
bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat
apa saja menurut keinginannya masing-masing, asalkan tidak mengganggu keamanan
orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara pandang lebih mengutamakan
kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti
ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu
dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat
selalu menang dalam bersaing dengan yang kuat sajalah yang dapat eksis.
Berhadapan dengan paham di atas adalah paham kolektivisme yang memberikan
kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat
secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya. dalam masyarakat
yang menganut paham integralistik; masing-masing anggota masyarakat saling
berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat:
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat:
1)
Kekeluargaaan dan gotong royong,
kebersamaan, musyawarah untuk mufakat,
2)
Kesejahteraan bersama menjadi tujuan
hidup bermasyarakat,
3)
Negara melindungi warga negaranya,
4)
Selaras serasi seimbang antara hak dan
kewajiban.
Oleh karena itu, pendidikan di
Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia orang perorang melainkan
juga kualitas struktur masyarakatnya.
Dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup
yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang, yaitu:
1.
Hubungan system pendidikan dengan aspek
masyarakat lain, yang mempelajari:
a.
Fungsi pendidikan
dalam kebudayaan
b.
Hubungansistem pendidikan dan proses
control social dan system kekuasaan.
c.
Fungsi system pendidikan dala
memelihara dan mendorong proses social dan perubahan kebudayaan
d.
Hubungan pendidikan dengan kelas social
atau system status
e.
Fungsionalisme system pendidika formal
dalam hubungannya dengan ras, kebudayaan, atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat.
2.
Hubungan kemanusian di sekolah yang
meliputi:
a.
Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang
berbeda dengan kebudayaan di luar sekolah
b.
Pola interaksi social atau sruktur masyarakat
sekolah.
3.
Pengaruh sekolah pada perilaku
anggotanya, yang mempelajari:
a.
Peranan social guru
b.
Sifat kepribadian guru
c.
Pengaruh kepribadian guru terhadap
tingkah laku siswa
d.
Fungsi sekolah dalam sosialisasi
anak-anak
4.
sekolah dalam komunitas yang mempelajari
pola interaksi antara sekolah dengan kelompok
social lain didalam komunitasnya, yang meliputi:
social lain didalam komunitasnya, yang meliputi:
a.
Pelukisan tentang komunitas seperti
tampak dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah
b.
Analisis tentang proses pendidikan
seperti tampak terjadi pada system social komunitas kaum
tidak terpelajar
tidak terpelajar
c.
Hubungan antara sekolah dan komunitas dalam
fungsi kependidikannya
d.
Factor-faktor demografi dan ekologi
dalam hubungannya dengan organisasi sekolah.
Dasar dari ilmu
sosiologis adalah bahwa manusia selalu hidup dalam kelompok. sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari bagaimana manusia itu berhubungan satu dengan yang lain
dalam kelompoknya dan bagaimna susunan unit-unit masyarakat atau sosial di
suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain (Made Pidarta, 2009).
Demikian juga dalam pendidikan, selalu
melibatkan manusia dalam hubungan kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat
Umar Tirtarahardja dan La Sulo (2005;95) bahwa kegiatan pendidikan merupakan
suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi yang
memungkinkan generasi muda dapat mengembangkan diri. Adapun bentuk-bentuk
hubungan sosial dalam pendidikan meliputi:
1)
Interaksi guru-siswa;
2)
Dinamika kelompok di kelas dan di
organisasi intra sekolah;
3)
Struktur dan fungsi sistem pendidikan
dan
4)
Sistem masyarakat dan pengaruhnya
terhadap pendidikan. (Wuradji dalam Made Pidarta, 2009)
Olehnya itu
penyelenggaraan pendidikan haruslah memasukkan unsur-unsur hubungan sosial
manusia sehingga baik dalam proses maupun hasilnya, pendidikan dapat
mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dan pergaulan peserta didik
sebagai objek dari pendidikan.
Masyarakat Indonesia
setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan orde baru telah banyak
perubahan. Sebagai masyarakat majemuk, maka komunitas dengan ciri-ciri unik
baik secara horizontal maupun vertical masih dapat ditemukan. Demikian pula
halnya dengan sifat-sifat dasar dari zaman penjajahan belum terhapus
seluruhnya. Namun dengan niat politik yang kuat menjadi suatu masyarakat bangsa
Indonesia serta dengan kemajuan dalam berbagai bidang pembangunan. Berbagai
upaya yang dilakukan, baik melalui jalur sekolah ( seperti mata pelajaran PKn,
pendidikan sejarah, dll) maupun jalur pendidikan luar sekolah (penataran, P4,
Pemasyarakaatn P4 non penaratan dll) telah mulai menumbuhkan benih-benih
persatuan dan kesatuan yang okoh, berbagai upaya tersebut dilaksanakan dengan
tidak mengabaikan kenyataan tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal
terakhir tersebut kini makin mendapat perhatian yag semestinya dengan antara
lain memasukkannya muatan local di dalam kurikulum sekolah. Muatan local yang
didasarkan pada kebhinekaan masyaraka Indonesia. Dengan demikian akan dapat
diwujudkan manusia Indonesia dengan wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan
tetapi memahami dan menyatu dengan lingkungan.
Memasukkan
nilai-nilai sosial dalam penyelenggaraan pendidikan adalah suatu keharusan,
karena dimensi kesosialan adalah salah satu dimensi yang dimiliki manusia.
Dalam pembelajaran dengan model konvensional selama ini memang sudah terdapat
nilai-nilai sosial, hanya belumlah optimal karena masyarakat belumlah atau
masih sangat jarang dilibatkan dalam model pembelajaran.
Untuk mentaktisi hal tersebut,
pembelajaran dapat menggunakan model experience learning yakni model
pembelajaran yang menekankan prinsip pengalaman dalam proses belajar.
Metode seperti ini dapat dilaksanakan dengan cara melibatkan peserta didik
perlu dalam kegiataan-kegiatan kemasyarakatan yang terkait dengan materi yang
mereka telah dipelajari disekolah, misalnya untuk materi Musyawarah untuk
Mufakat dan Gotong Royong dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, peserta didik perlu dilibatkan dalam kegiatan musyawarah dan
kegiatan kerja bakti yang dilaksanakan oleh masyarakat disekitar sekolah tersebut.
2. Landasan Politik Pendidikan
Era reformasi
melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam penjara
selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runtuh. Mereka semua
keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan
yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat masyarakat
tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi
tidak mampu menawarkan solusi.
Masyarakat pendidikan
tersadar bahwa SDM produk dari sistem pendidikan nasional kita tidak bisa
bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga
kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan
tenaga skill dari luar.
Dibutuhkan keputusan
politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah sistem
pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli
pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba
sistem di lapangan.
Pendidikan bermutu
memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20% pun tidak
banyak membantu jika kreatifitas Depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan
bukan pada pengembangan pendidikan. Namun dalam kenyataannya tidak menunjukkan
suatu relevansi yang nyata. Bahkan riil, anggaran pendidikan hanya berkisar 10%
dari APBN, dan itu pun hanya untuk membiayai anggaran rutin seperti penyediaan
alat-alat belajar, gaji guru dan karyawan dan sebagainya.
Swasta mempunyai
peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi yang
jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga
pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan. Sekolah-sekolah
international diperlukan sebagai respon terhadap globalisasi, tetapi pembukaan
sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena
filsafat pendidikannya berbeda.
Penyelenggara
pendidikan di negara maju memahami persis bahwa fitrah manusia memang
berbeda-beda, sebagaimana halnya sifat alam. Penghargaan akan talenta dan
keunikan SDM dihargai sedemikian tinggi sehingga tidak heran apabila atlet atau
penyanyi memiliki penghasilan berkali lipat lebih besar daripada bankir,
birokrat, apalagi politisi. Ibarat tanaman tropis tidak dapat tumbuh baik di
iklim dengan empat musim, manusia juga memiliki berbagai karakter sehingga
tidak dapat disamaratakan.
Pendidikan Nasional
semakin menyimpan banyak persoalan dan sampai sekarang belum terselesaikan.
Banyak kasus pendidikan yang sempat menjadi keprihatinan kita bersama, seperti
kasus contek massal, kasus penggusuran sekolah-sekolah yang secara tidak
langsung menjadi indikasi bagi keberlangsungan Pendidikan Nasional yang masih
terseok-seok. Proses penyelenggaraan Pendidikan Nasional masih sering terbentur
dengan berbagai kendala, baik dari segi kebijakan , sistem sosial dan kesadaran
kita sendiri.
Kita bisa mengambil
kesimpulan secara sederhana bahwa terdapat beberapa pokok persoalan dalam
pendidikan kita, yaitu; pertama, problem kebijakan pemerintah yang tidak memiliki
komitmen dalam menyelenggarakan pendidikan dan kedua; problem visi Pendidikan
Nasional yang masih belum bisa berpihak pada rakyat jelata.
a. Kebijakan pendidikan di era
orde lama ditahun 1954
Pada masa ini penekanan kebijakan pendidikan pada isu nasionalisasi
dan ideologisasi. Penekanan pada kedua bidang tersebut tidak lain karena masa
tersebut masa krusial pasca kemerdekaan dimana banyak konflik yang mengarah
pada separatisme dan terjadi interplay (tarik ulur) antara pihak yang sekuler
dengan agamis.
Implikasi dari
kebijakan politik pendidikan pada waktu itu adalah terbentuknya masyarakat yang
berjiwa nasionalis dan berpatriot pancasila. Kebijakan politik tersebut
sejatinya berupaya menjadi ”win-win solution” dengan mengakomodasi semua
kepentingan. Di sini terjadi pengakuan terhadap keanekaragaman baik budaya,
seni, maupun agama. Pada dasarnya upaya membangun nasionalisme melalui
pendidikan relatif berhasil, hanya saja kurang diimbangi dengan kebijakan yang
lain sehingga kemelut bernegara selalu ada di masa tersebut.
b.
Kebijakan politik pendidikan nasional di era orde
baru
Dengan
dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan ditahun 1989. Berbeda dengan
kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde baru memberi penekanan pada
sentralisasi dan birokratisasi. Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah
kepanjangan tangan dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin
sedemikian rupa sehingga menjadi kader-kader yang ‘yes man’, selalu
patuh buta terhadap kepentingan pusat. Akibat yang terjadi dari kebijakan ini
adalah matinya daya kritis, daya kreatif dan daya inovatif, yang ada hanyalah
birokrat yang “sendikho dhawuh”. Bahkan sistem pada masa ini berhasil
membunuh idealisme. Orang-orang atau cendekia yang idealis, kritis, dan
inovatif tiba-tiba memble ketika masuk pada jalur
birokrasi.
Disadari bahwa
sistem pendidikan nasional pada masa itu sebab kuatnya intervensi kekuasaan
sangat mewarnai di setiap aspek pendidikan. Dalam sistem pendidikan nasional
pada masa orba, muatan kurikulumnya sempat dimanfaatkan oleh pemerintah yang
bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Beberapa pelatihan di sekolah-sekolah
atau instusi-institusi pendidikan pada umumnya lebih mengenalkan indoktrinasi
ideologi penguasa. Praktek penataran P4 merupakan salah satu bukti riil dari
indoktrinasi ideologi penguasa pada waktu itu. (Mu’arif, 2008:13.
Di era ini pula
terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah, seni daerah, dan
kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang telah mati. Yang tersisa hanyalah seni dan budaya yang sifatnya
mondial. Bahkan istilah Bhinneka Tunggal Ika yang sejatinya bermakna
berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai menjadi sesuatu entitas yang
seragam, ya serba seragam.
c.
Kebijakan politik pendidikan di era reformasi.
Kebijakan ini
ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional N0 20
tahun 2003. Di era reformasi
ini penekanannya terletak pada desentralisasi dan demokratisasi. Kewenangan
yang semula terletak di pusat dan berjalan secara top-down diubah dengan
memberi kewenangan daerah yang lebih luas sehingga pola yang berjalan adalah bottom-up.
Regulasi yang
relatif longgar di era reformasi ini ternyata belum memberi angin segar bagi
dunia pendidikan, bahkan banyak potensi untuk diselewengkan dengan mengambil
dalih demokratisasi dan desentralisasi. Demokrasi telah menjadi kebebasan dan
desentralisasi daerah telah menjadi keangkuhan daerah.
Bahkan di era ini
semakin jelas keterpurukan masyarakat miskin karena semakin sulit mengakses
pendidikan tinggi. Lebih dari itu implementasi kebijakan pendidikan yang
demokratis dan mengedepankan potensi daerah semakin dinafikkan. Sistem evaluasi
yang masih terpusat, kekerasan dalam pendidikan, dan banyaknya penyimpangan
dalam proses pendidikan semakin memberi catatan buram bagi pendidikan di era
reformasi ini.
Kebijakan politik
yang paling di sorot pada masa ini adalah kebijakan- kebijakan tentang otonomi
daerah dalam bidang pendidikan, penerapan kurikulum yang berganti-ganti, hingga
yang diterapkan saat ini yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan
pro dan kontra yang terjadi pada pelaksanaan Ujian Nasional.
1.
Otonomi Daerah dalam bidang pendidikan
Otonomi daerah
sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya
ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya
untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintah untuk mewujudkan
cita-cita masyarakat yang lebih baik, suatu masyarakat yang lebih adil
dan lebih sejahtera.
Desentralisasi
bidang pendidikan dimulai dengan keluarnya UU No.22/1999 tentang Pemerintah
Daerah dan kemudian ditindak lanjuti dengan PP No. 20 tentang Peribangan
Keuangan Daerah yang di dalamnya mengatur tentang sektor-sektor yang
didesentralisasikan dan yang tetap menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pendidikan
termasuk salah satu sektor yang didesentralisasikan, sehingga sejak itu
pendidikan terutama dari TK sampai dengan SMA menjadi urusan kabupaten/kota.
Sedangkan pendidikan tinggi menjadi urusan Pemerintah Pusat dan Provinsi.
Sejak urusan
pendidikan didesentralisasikan, signal-signal adanya banyak masalah baru sudah
tampak. Diantaranya, adalah tarik menarik kepentingan untuk urusan guru serta
saling lempar tanggung jawab untuk pembangunan gedung sekolah. Pengelolaan guru
menjadi tarik menarik, karena jumlahnya yang banyak, sehingga banyak
kepentingan politik maupun ekonomi yang bermain di dalamnya. Sedangkan
pembangunan gedung sekolah, utamanya gedung SD menjadi lempar-lemparan tanggung
jawab antara Pemerintah Pusat dan Pemda karena besarnya dana yang diperlukan
untuk itu. Sementara, di lain pihak, baik Pemerintah Pusat maupun Pemda
sama-sama mengeluh tidak memiliki dana.
2.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan
Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan angin segar bagi dunia pendidikan dasar dan
menengah. KTSP dimaknai sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Ini berarti satuan pendidikan
tertantang untuk menterjemahkan standar isi yang ditentukan oleh Depdiknas.
Bahkan diharapkan sekolah mampu mengembangkan lebih jauh standar isi tersebut.
Meskipun sekolah diberi
kelonggaran untuk menyusun kurikulum, namun tetap harus memperhatikan
rambu-rambu panduan KTSP yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP). Hal ini diharapkan agar selalu ada sinkronisasi antara standar isi dan
masing-masing KTSP.
Dalam prakteknya,
peluang ini juga akan menghadapi kendala yang tidak ringan, Pertama,
belum semua guru atau bahkan kepala sekolah mempunyai kemampuan untuk menyusun
kurikulum. Kedua, semua komite sekolah atau bahkan orang Depdiknas belum
memahami tatacara penyusunan sebuah kurikulum yang baik. Ketiga, kebingungan
pelaksana dalam menerjemahkan KTSP.
Sudah sering
dikemukakan oleh berbagai kalangan, ketidaklogisan KTSP terjadi karena seolah
diberikan kebebasan untuk mengolaborasikan kurikulum inti yang dibuat
Depdiknas, tetapi evaluasi nasional oleh pemerintah dengan melalui Ujian
Nasional (UN) justru yang paling menentukan kelulusan siswa.
3.
Ujian nasional
Kebijakan
pemerintah melaksanakan Ujian Nasional selalu menghadirkan pro dan kontra. Bagi
yang sependapat UN merupakan wahana untuk meningkatkan kualitas pendidikan
dasar dan menengah di negeri ini. Sementara bagi yang kontra, UN justru akan
membebani siswa dalam belajar. Bahkan menjadi hantu yang menakutkan dan
kemungkinan besar justru mematikan potensi anak. Lepas dari setuju tidak
setuju, UN sebenarnya diperlukan dalam memotret pemetaan kualitas satuan
pendidikan nasional. Namun yang sering dikeluhkan, kenapa UN dijadikan alat
vonis penentuan kelulusan? Adilkah suka duka siswa dalam belajar selama tiga
tahun hanya ditentukan nasibnya selama tiga hari pelaksanaan UN?
Kontroversi mengenai ujian nasional (UN) kebijakan ini
dengan jelas menggambarkan betapa lemahnya visi pemerintah dalam kebijakan
pendidikan selama ini. Visi adalah sebuah jangkauan terpanjang dari apa yang
hendak dicapai dan dituju. Tetapi kalau suatu kebijakan hanya diarahkan
semata-mata untuk mengejar target, di mana visi pendidikan kita yang
mencerdaskan itu ? Inilah yang membuat paradigma pendidikan menjadi semakin
tidak jelas. Sasaran apa yang hendak dicapai? Kita
menghadapi persoalan sangat mendasar dalam konteks kebijakan ini. Apakah dengan
adanya Ujian Nasional ini mutu pendidikan kita bisa ditingkatkan? Sayang sekali
pertanyaan ini selalu luput dari perhatian.
Mutu pendidikan bukan hanya sekedar ditentukan oleh Ujian Nasional melainkan pada paradigma pendidikan itu sendiri. Selama ini kita sering menjadikannya sebagai tolok ukur prestasi, padahal secara substansial hal itu tidak pernah menjadi bukti. Justru pendidikan kita semakin terperosok karena kebijakan tersebut selalu dibarengi dengan perilaku tak terpuji seperti korupsi, manipulasi anggaran, dan kecurangan-kecurangan lain yang dilakukan untuk mempertahankan kredibilitas sekolah maupun daerah.
Mutu pendidikan bukan hanya sekedar ditentukan oleh Ujian Nasional melainkan pada paradigma pendidikan itu sendiri. Selama ini kita sering menjadikannya sebagai tolok ukur prestasi, padahal secara substansial hal itu tidak pernah menjadi bukti. Justru pendidikan kita semakin terperosok karena kebijakan tersebut selalu dibarengi dengan perilaku tak terpuji seperti korupsi, manipulasi anggaran, dan kecurangan-kecurangan lain yang dilakukan untuk mempertahankan kredibilitas sekolah maupun daerah.
d.
Realitas politik pendidikan
Sampai
saat ini, realitas politik pendidikan di negara kita masih belum sepenuhnya
merdeka. Hal ini bisa kita lihat dari komitmen pemerintah yang masih rendah
dalam mewujudkan akses dan pemerataan pendidikan dasar yang bebas biaya, belum
terpenuhinya anggaran pendidikan sebesar 20%, kurangnya penghargaan terhadap
profesionalisme dan kesejahteraan guru, rendahnya mutu dan daya saing
pendidikan, upaya otonomi pendidikan yang masih setengah hati, dan sebagainya.
Pemerintah sebetulnya telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005–2009
dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu
meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatnya mutu dan
relevansi pendidikan, dan meningkatnya tata kepemerintahan (governance),
akuntabilitas, dan pencitraan publik. Pemerintah Indonesia juga telah berupaya
terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam
rangka mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dalam
realitasnya, kita menyaksikan ternyata kebijakan dan praktik pendidikan kita masih
jauh panggang dari api.
Sampai
saat ini dunia pendidikan kita juga masih dihadapkan pada tantangan besar untuk
mencerdaskan anak bangsa. Tantangan utama yang dihadapi di bidang pendidikan
pada 2008 adalah meningkatkan akses, pemerataan, dan kualitas pelayanan
pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan dasar, perbaikan kurikulum
pendidikan, dan tuntutan profesionalisme dan kesejahteraan guru. Pada
saat yang sama, kesenjangan partisipasi pendidikan juga masih terjadi, terutama
antara penduduk miskin dan penduduk kaya. Meskipun pemerintah telah menyediakan
bantuan operasional sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar, masih
ditemukan adanya beberapa sekolah yang masih menarik berbagai iuran, sehingga
memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi
pendidikan tersebut terlihat makin mencolok pada jenjang pendidikan menengah
dan pendidikan tinggi.
Selain itu, ada
beberapa agenda yang perlu diperhatikan untuk menentukan arah dan masa depan
politik pendidikan, diantaranya adalah, Pertama, menghapus dikotomi
dualisme penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif. Pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional dan
Departemen Agama harus berjalan seimbang dalam hal mutu, kualitas dan
kemajuannya. Sehingga tidak ada lagi pandangan bahwa pendidikan keagamaan
terkesan tidak bermutu dan terbelakang. Kedua, peningkatan
anggaran pendidikan. Kita semua menyadari, bahwa untuk memajukan dunia
pendidikan nasional, pemenuhan alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari
APBN dan APBD adalah menjadi keniscayaan. Ini menjadi persoalan mendesak, jika
kita betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan, UUD 1945
Pasal 31 ayat (4) telah mengamanahkannya. Ketiga, pembebasan biaya
pendidikan dasar. Pemerintah dan pemerintah daerah harus punya kemauan kuat
untuk bisa membebaskan siswa dari biaya operasional pendidikan untuk tingkat
sekolah dasar. Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengamanatkan, “Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.” Keempat, perbaikan kurikulum. Pendidikan mesti diarahkan
pada sistem terbuka dan multimakna serta pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat. Karena itu, kurikulum pendidikan harus mampu
membentuk insan cerdas, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan memiliki
kebebasan mengembangkan potensi diri. Pendidikan juga mesti diselenggarakan
dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam
proses pembelajarannya. Kelima, penghargaan pada pendidik. Pemerintah
harus lebih serius meningkatkan kualifikasi, profesionalisme dan kesejahteraan
guru. Sebab, guru merupakan pilar utama pendidikan dan pembangunan bangsa.
Tanpa guru yang profesional dan sejahtera, mustahil pendidikan kita akan maju
dan berdaya saing.
3.
Landasan Ekonomi Pendidikan
Dalam menghadapi
perubahan yang semakin cepat bangsa ini harus siap dalam berkompetesi didunia
pendidikan karena pendidikan nanti diera globalisasi juga terjadi persaingan.
Untuk memenangkan persaingan maka bangsa ini harus memiliki mental tangguh dan
sehat dalam persaingan. Memajukan pendidikan bangsa ini tidak hanya berkaitan
dengan guru, siswa atau fasilitas pendidikan saja namun ada beberapa faktor
yang lain in dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Perkembangan jaman
yang cepat sekarang menuntut manajemen sekolah untuk dapat mengelola komponen
dalam pendidikan apakah mengelola sumber daya manusia atau Non manusia termasuk
mengelola sejumlah besar uang yang berpautan dengan operasional sekolah.
Dibanyak sekolah tidak memiliki tenaga keuangan, dimana kepala sekolah yang
memikul tanggung jawab tentang penanganan banyak kewajiban yang bersifat efisien.
Termasuk dalam kewajiban ini tanggung jawab dalam pembuatan anggaran. Belanja,
pembukuan keuangan, pengelolaan keuangan ekstra kurikuler. Pengelolaan
perlengkapan dan perbekalalan dan pemeliharaan perpustakaan, kebutuhan tentang
orang yang betugas khusus bertanggung jawab tentang urusan keuangan sekolah
diakui terutama. Landasan ekonomi pendidikan harus dipahami oleh pihak yang
berkaitan dengan pengelolaan keuangan pendidikan agar memahami kemampuan
ekonomi pendidikan.
Sistem pendidikan
disusun berdasarkan semangat desentralisasi dan otonomi satuan pendidikan dalam
perimbangan pendanaan dimana dalam pendanaan pendidikan kini menjadi tanggung
jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah serta masyarakat.
Adapun tanggung
jawab pemerintah, pemerintah daerah dalam penyediaan anggaran pendidikan
didasarkan pada prinsip yang tersusun sebagai berikut:
1.
Prinsip Umum meliputi: prinsip keadilan, prinsip Tranparasi, prinsip Akuntabilitas Publik.
prinsip Keadilan disini berarti
memberikan akses pelayanan pendidikan yang seluas-luasnya dan merata kepada
peserta didik atau calon peserta didik, tanpa membedakan latar belakang suku,
ras, agama, jenis kelamin, dan kemampuan atau status sosial-ekonomi. Prinsip
Efisiensi dimaksudkan untuk mengotimalkan akses, mutu, relevasi dan daya saing
pelayanan pendidikan. Sedangkan prinsip Transparasi dimaksudkan dilakukan
dengan memenuhi asas kepatutan dan tata kelola yang baik oleh pemerintah
daerah, penyelenggara pendidikan yang didirikan oleh masyarakat, dan satuan
pendidikan sehingga dapat diaudit atas dasar audit yang berlaku dan
menghasilkan audit yang wajar tanpa pengecualian. Dan dapat dipertanggung
jawabkan secara transparant kepada pemangku jabatan kepentingan pendidikan.
Pada prinsip Akuntabilitas Publik dilakukan dengan cara memberikan
pertanggungjawaban atas kegiatan yang dijalankan oleh penyelenggara atau satuan
pendidikan kepada pemangku kepentingan pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-udangan.
2.
Prinsip Khusus
a)
pengelolaan dana pendidikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b)
Pengelolaan dana pendidikan oleh penyelenggaraan atau satuan pendidikan
yang didirikan masyarakat dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan dan
anggaran dasar/anggaran rumah tangga penyelenggara atau satuan pendidikan yang
bersangkutan.
c)
Pegelolaan dana pendidikan oleh satuan pendidikan dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
penyelenggara atau satuan pendidikan, serta peraturan satuan pendidikan.
d)
Seluruh dana pendidikan baik pemerintah atau pemerintah daerah dikelola
sesuai dengan sistem anggaran pemerintah atau sistem anggaran pemeritah daerah.
e)
Seluruh dana satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah
daerah dikelola sesuai dengan sistem anggaran pemeritah atau sistem anggaran
pemerintah daerah.
f)
Dana pendidikan oleh penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat diatur dalam anggaran dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
penyelenggara atau satuan pendidikan yang bersangkutan.
g)
Peruntukan dana pada satuan pendidikan diatas meliputi:
a.
Biaya investasi pada satuan pendidikan
b.
Biaya operasional pada satuan pendidikan:
dan atau
c.
Bantuan pada satuan pendidikan dalam bentuk hibah untuk mendukung biaya
operasi satuan pendidikan.
h)
Dana pendidikan yang dikelola oleh penyelenggara atau satuan pendidikan
yang didirikan masyarakat disimpan dalam rekening penyelenggara atau satuan
pendidikan yang bersangkutan.
i)
Seluruh dana satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat
dikelola melalui mekanisme yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga penyelenggara atau satuan pendidikan yang bersangkutan dan disimpan di
dalam rekening bendahara satuan pendidikan yang dibuka dengan seizin ketua
penyelenggara atau pemimpin satuan pendidikan yang bersangkutan.
j)
Penerimaan dana pendidikan yang bersumber dari masyrakat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dikelola sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-perundangan.
k)
Dana pendidikan pada satuan pendidikan bukan penyelenggara program wajib
belajar yang diselenggarkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang belum
berbadan hukum dikelola dengan menggunakan pola pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum.
Guna pengadaan
anggaran pendidikan maka pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang dikelola berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, tranparansi dan
akuntabilitas publik. Perlu diperhatikan kemampuan dalam mengelola keuangan pendidikan terutama
disekolah harus efektif serta telah berpengalaman lama dan ini bisa dilimpahkan
apabila manajemen keuangan disuatu sekolah telah menunjukan pengetahuan atau
keterampilan dalam menangani masalah keuangan sekolah. Dalam pengelolan
keuangan disekolah bendaharawan harus memperhatikan hal berikut:
a.
Hemat dan sesuai kebutuhan.
b.
Terarah dan terkendali sesuai dengan rencana.
c.
Tidak diperkenankan untuk kebutuhan yang tidak menunjang proses
belajar-mengajar yakni, pesta perkawinan, ucapan selamat, hadiah dan lain-lain.
Untuk pelaksanaan
itu perlu memahami panca tertib dalam pengelolaan keuangan meliputi:
1. tertib program. 2. tertib anggaran. 3. tertib
admistrasi. 4. tertib pelaksanaan 5. tertib pengendalian/pengawasaan.
Manajemen keuangan yang baik harus direncanakan dengan
teliti dan penggunaanya yang effektif.
Kebijakanaan Anggaran Pendidikan
Kata kebijakan
menurut Houg (1984) dalam arti sempit untuk mengacu pada pernyataan tindakan
formal yang diikutinya atau kebijakan dianggap sebagai suatu posisi atau
pendirian yang dikembangkan untuk menanggapi suatu masalah atau isu konfilik
dalam rangka pencapaian tujuan tertentu, padahal kebijakan pendidikan lebih
luas dari itu. Kebijakan pendidikan yang benar menjadikan suatu pendidikan
tepat dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan dapat membangun dirinya sendiri
dan bertanggung jawab pada bangsanya. Baik secara ekonomi atau mengembangkan
jiwa patriotisme pada bangsa negara, Arti kebijakan “wisdom” adalah suatu ketentuan dari
pimpinan yang berbeda dengan aturan yang ada, yang dikenakan pada seseorang
atau kelompok orang dapat atau tidak dapat memenuhi aturan tadi. Tanpa ada suatu
perbedaan atau pengecualian.
Untuk mengetahui
bagaimana dana pendidikan dapat dihasilkan dapat terlihat pada gambar bagan
diatas, Mekanisme penentuan anggaran pendidikan dimulai dari musyawarah
pembangunan desa (musbagdes) yang mana didalam nya sudah termasuk sekolah yang
ada didesa tersebut. Tetapi dilain pihak sekolah juga mengajukan anggaran
sekolah yang disebut juga rencana anggaran belanja sekolah (RAPBS) yang
diajukan kepada Dinas Pendidikan setempat. Selanjutnya hasil musbagdes
digabungkan di kecamatan sehingga oleh pihak camat diidentifikasi dan diolah
menjadi usulan daftar kegiatan pembangunan (UDKP) pada tingkat kecamatan yang
didalam nya sudah termasuk program dinas yang berada dikecamatan. UDKP dari
kecamatan bersama dengan usulan dinas tehnis di daerah diserahkan kepada Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA). Dinas teknis di kecamatan antara lain
adalah cabang dinas pendidikan kecamatan. Oleh Badan Perencananaan Pembangunan
Daerah (BAPEDA). Kabupaten setiap usulan rencana anggaran tersebut dibawa ke
rapat kordinasi pembangunan (Rakorbang) kabupaten untuk menentukan prioritas
pembangunan yang disertai dengan rencana anggarannya. Hasil rakorbang tersebut
memuat program kerja kabupaten/kota yang dianalisis kembali oleh panitia
anggaran kabupaten/kota dibawah kordinasi seketaris daerah. Setelah dianalisis
maka hasilnya ditetapkan menjadi Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada)
yang nanti akan menjadi RAPBD untuk diajukan ke legeslatif. Repetada ini telah
diperiksa oleh masing-masing dinas termasuk dinas pendidikan, sehingga
kesesuaian antara usulan dengan yang disetujui baik program maupun anggaran
yang diperlukan untuk melaksanakan program tersebut. Usulan anggaran tersebut
selanjutnya dibahas oleh DPRD Kabupaten dalam bentuk dengar pendapat dengan
Bupati/Walikota dan dinas teknis untuk mengetahui detail progam dan anggaran
yang diperlukan. Hasil rapat penyusunan anggaran ini dalam bentuk Repetada
diajuakan oleh pihak legislatif daerah untuk dibahas dan selanjutnya setelah
dianggap sesuai dengan ketentuan dan sesuai pula dengan anggaran yang tersedia,
oleh pihak DPRD diterbitkan peraturan daerah (Perda) menjadi APBD.
Tujuan kebijaksanaan biaya pendidikan
Dalam perkembangan
dunia pendidikan, terjadi perubahan dalam masalah yang berkaitan dengan sistem
pendidikan diseluruh dunia dibebani oleh perubahan ilmu pengetahuan dan teknik,
ekonomi, dan kependudukan, politik dan sosial yang mengoncangkan terlebih
krisis ekonomi yang melebar kesetiap negara didunia. Akibatnya dalam dunia
pendidikan timbul sejumlah tugas baru yang berat, serta tekanan dan berbagai
masalah yang jauh lebih besar dan lebih rumit yang semuanya itu harus dihadapi.
Kebijakasanaan biaya pendidikan dinegara berkembang merupakan kebutuhan sangat
mendesak mengapa karena tingkat pendidikan dinegara berkembang masih rendah
seperti terlihat pada tingkat anak yang lulus dari sekolah dasar, sekolah
menengah pertama, sekolah menengah atas, dan sarjana. Ini menjadi persoalan
mendasar bagi negar berkembang. Atau pula ada beberapa hambatan yang ditemui
dalam pendidikan dinegara berkembang seperti berikut:
a.
Ketidakseimbangan dalam sistem pendidikan.
b.
Tuntutan melampui batas kemampuan
c.
Peningkatan biaya lebih cepat dari pada pendapatan
d.
Hambatan diluar masalah keuangan
e.
Kekurangan kesempatan kerja bagi orang yang terdidik.
f.
Bentuk pendidikan yang keliru.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar